MAJENE – Pemerintah Kabupaten Majene kembali menghadapi ancaman defisit anggaran yang diprediksi akan memperburuk kondisi keuangan daerah.
Dugaan mencuat setelah Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kabupaten Majene dikabarkan menggunakan Dana Alokasi Umum (DAU) senilai Rp 15 miliar untuk membiayai program yang seharusnya bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Langkah ini menuai sorotan tajam karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip pengelolaan keuangan daerah yang sehat.
Hingga saat ini, setoran PAD belum mampu mencukupi kebutuhan pembiayaan sejumlah program yang telah ditetapkan dalam APBD sebelumnya.
Kondisi ini memunculkan kekhawatiran akan semakin besarnya defisit anggaran APBD Majene.
Menurut sejumlah sumber, penggunaan DAU untuk menutupi program PAD dianggap sebagai langkah yang berisiko tinggi.
Sebab, jika PAD tidak mencapai target hingga akhir tahun, pemerintah daerah berpotensi menghadapi beban defisit yang lebih besar.
Hal ini juga dikhawatirkan akan berdampak pada sejumlah kegiatan yang telah dilaksanakan di tahun ini, di mana pembayarannya terancam tertunda hingga tahun anggaran berikutnya.
Situasi seperti ini bukan kali pertama terjadi di Kabupaten Majene. Sebelumnya, kasus serupa pernah memunculkan polemik di kalangan masyarakat dan pemerhati anggaran daerah.
Jika tidak ditangani dengan baik, kondisi ini bisa menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap pengelolaan keuangan pemerintah daerah.
Dampak Bagi Pihak Ketiga
Ancaman defisit ini juga berdampak langsung pada pihak ketiga yang telah menjadi mitra kerja pemerintah dalam melaksanakan berbagai kegiatan pembangunan.
Beberapa kontraktor yang telah menyelesaikan proyek sesuai dengan kontrak kerja menyatakan kekecewaannya karena pembayaran tidak dilakukan tepat waktu.
Kondisi ini dinilai merugikan karena kontrak yang telah dipenuhi oleh pihak ketiga justru diabaikan oleh pemerintah daerah.
“Bayangkan saja, kami sudah menyelesaikan proyek sesuai kontrak, tetapi pembayaran tidak cair. Ini tentu memengaruhi arus kas perusahaan kami,” keluh salah satu kontraktor yang enggan disebutkan namanya.
Kabar ini segera memantik reaksi dari berbagai elemen masyarakat, termasuk pengamat keuangan daerah.
Mereka mendesak pemerintah daerah untuk lebih transparan dalam pengelolaan anggaran, terutama terkait penggunaan DAU.
Selain itu, pemerintah diharapkan memberikan penjelasan kepada masyarakat terkait langkah-langkah yang akan diambil untuk mengatasi ancaman defisit ini.
“Penggunaan DAU untuk membayar program PAD adalah hal yang tidak wajar. Seharusnya, PAD sudah diproyeksikan dengan matang dalam APBD. Ini menandakan adanya perencanaan yang lemah di awal,” ujar Ketua Jaringan Pemerhati Kebijakan Pemerintah Daerah (JAPKEPDA)
Menghadapi situasi ini, kata Juniardi, pemerintah daerah Kabupaten Majene harus segera mengambil langkah strategis guna menghindari dampak yang lebih luas.
Beberapa solusi yang diusulkan oleh Juniardi antara lain adalah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap realisasi PAD, mengendalikan pengeluaran non-prioritas, serta mempercepat proses pembayaran kepada pihak ketiga yang telah menyelesaikan pekerjaan.
Kejadian ini menjadi pengingat penting bagi pemerintah daerah akan pentingnya perencanaan anggaran yang matang dan pengelolaan yang transparan demi menjaga stabilitas keuangan daerah.
Jika tidak ditangani dengan baik, ancaman defisit ini berpotensi menghambat pembangunan di Majene serta menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah.
Dikonfirmasi terpisah, Kasda atau Penanggungjawab Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) Kabupaten Majene, Asri, enggan menanggapi informasi tersebut.
“Saya sebagai juru bayar Kabang tidak bisa berkomentar soal itu, jadi silahkan ke pak Kasman Kabil selaku Kepal BKAD,” singkatnya.
Upaya konfirmasi lanjutan Kepala BKDA Majene terhambat lantaran sedang menggelar rapat internal di ruang kerjanya.
Situasi ini menanti tanggapan tegas dari pemerintah Kabupaten Majene untuk menjawab kekhawatiran masyarakat dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap tata kelola keuangan daerah.
APBD Majene Disusun Serampangan Jadi Penyebab Defisit Anggaran
Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dilakukan oleh Tima Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Kabupaten Majene selama ini dinilai serampangan (seenaknya saja).
Imbasnya, anggaran belanja pada APBD Kabupaten Majene tidak didukung oleh informasi detail terkait sumber dana untuk membiayai belanja masing-masing program dan kegiatan yang telah disahkan melalui APBD.
Ketua Jaringan Pemerhati Kebijakan Pemerintah Daerah (JAPKEPDA) Juniardi mengatakan, berdasarkan hasil reviu Dokumen Pelaksanaan Perubahan Anggaran (DPPA) secara uji petik, diketahui bahwa terdapat anggaran belanja yang tidak didukung dengan informasi sumber dana untuk membiayai belanja masing-masing program dan kegiatan.
“Seharusnya setiap pengeluaran atau belanja yang dilaksanakan oleh Pemkab Majene mengikuti sumber dana yang telah ditentukan dalam DPPA sebagai pedoman pelaksanaan anggaran oleh Pengguna Anggaran atau Kuasa Pengguna Anggaran,” jelas Juniardi, Kamis (28/09/2023).
Dengan tidak adanya pencantuman sumber dana pada DPPA, kata Juniardi, maka pelaksanaan realisasi anggaran menjadi tidak pasti, serta berdampak pada defisit pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten Majene.
Kemudian dampak lainnya, lanjut Juniardi, adalah menimbulkan penambahan utang atas pekerjaan tahun anggaran berjalan yang tidak dapat terbayarkan.
Selain itu, kata Jun, kondisi tersebut juga menyebabkan terjadinya potensi penggunaan sumber pendanaan yang sudah dialokasikan secara khusus untuk membiayai program atau kegiatan yang bukan peruntukannya.
Juniardi mencontohkan, adanya dugaan penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) digunakan untuk membiayai kegiatan yang bersumber dana non-DAK. Bukan hanya itu, terjadi juga dugaan pengunaan Dana Alokasi Umum (DAU) digunakan untuk membiayai kegiatan yang bersumber dana non-DAU.
Sebelumnya, Ketua Jaringan Pemerhati Kebijakan Pemerintah Daerah (JAPKEPDA) Juniardi menyebut, Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Mejene juga tidak dihitung secara rasional. Imbasnya penganggaran program tidak sesuai dengan ketentuan aturan yang berlaku.
Proses penyusunan anggaran pendapatan, kata Juniardi, tidak dihitung secara rasional dan diantaranya dianggarkan tidak sesuai ketentuan, khususnya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 27 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Angaran 2022.
Regulasi itu menyatakan bahwa penerimaan daerah merupakan rencana penerimaan daerah yang terukur secara rasional, dapat dicapai, dan berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan reviu dokumen Rencana Kerja dan Anggaran (RKA), RKA Perubahan, Rancangan APBD, Rancangan APBD-P, APBD, dan APBD-P, serta struktur target anggaran Pendapatan Daerah Tahun Anggaran 2022, target Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada APBD 2022 ditetapkan sebesar Rp90.965.972.214, namun jumlah tersebut kemudian mengalami keniakan hingga Rp45.500.238.820, atau menjadi Rp136.466.211.034 (APBD-P 2022).
Pajak Daerah sebanyak Rp15.184.764.909 dan kemudian retribusi daerah Rp10.467.519.377. Hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan Rp2.969.199.261 (APBD 2022), namun bertambah Rp364.108.820, sehingga menjadi Rp3.333.308.081 (APBD-P 2022).
Lain-lain PAD yang sah sebesar Rp62.344.488.667 (APBD 2022), bertambah hingga Rp45.136.130.000, sehingga menjadi Rp107.480.618.667 (APBD-P 2022).
Pendapatan transfer Rp766.173.673.000 (APBD 2022), bertambah Rp13.176.154.000, sehingga menjadi Rp779.349.827.000 (APBD-P 2022).
Pendapatan Transfer dari Pemerintah Pusat Rp746.163.673.000 (APBD 2022), bertambah Rp3.112.604.000, sehingga menjadi Rp749.276.277.000 (APBD-P 2022). Pendapatan Transfer antar Daerah Rp20.010.000.000 (APBD 2022), bertambah sebanyak Rp10.063.550.000, sehingga menjadi Rp30.073.550.000 (APBD-P 2022).
Lain-lain pendapatan daerah yang sah pada APBD 2022 sebesar Rp3.000.000.000, Pendapatan Hibah Rp3.000.000.000, sehingga total pendapatan daerah pada APBD Pokok 2022 sebesar Rp860.139.645.214 dan menjadi Rp918.816.038.034 atau terjadi kenaikan hingga Rp58.676.392.820 (APBD-P 2022).
Dari penetapan anggaran pendapatan yang dipisahkan tersebut, khususnya pada pos PAD terdapat item pendapatan yang dianggarkan, namun tidak memiliki kertas kerja penetapan target dan tidak memiliki dasar hukum.
Mirisnya, pola penganggaran yang lebih tidak rasional dilakukan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Kabupaten Majene saat penyusuan APBD tahun anggaran 2023, dimana target Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada APBD 2023 ditetapkan sebesar Rp140.838.163.462.
Pajak daerah Rp15.634.764.909, Retribusi Daerah Rp6.295.728.500, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan Rp3.333.308.081, serta Lain-lain PAD yang Sah Rp15.574.361.972.
Juniardi meminta kepada penyidik Kejaksaan Tinggi Sulawesi Barat dan Polda Sulbar untuk membongkar dugaan adanya mafia anggaran yang ditengarai mendapatkan keuntungan dari upaya “memainkan” penganggaran APBD Majene.
Apalagi dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Majene Tahun 2022, BPK menemukan adanya kelemahan pengendalian intern maupun ketidak patuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut, BPK kemudian merekomendasikan Bupati Majene antara lain agar menginstruksikan TAPD dan Badan Anggaran dalam melakukan penyusunan APBD dan APBD-P agar memedomani ketentuan yang berlaku.
Wartawan yang coba melakukan konfirmasi kepada TAPD belum berhasil mendapatkan jawaban. Tanggapan atas berita ini akan dimuat pada berita lain melalui media yang sama.