MAJENE – Kasus dugaan penganiayaan yang melibatkan Direktur Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Aneka Usaha Kabupaten Majene, Moch Luthfie Nugraha, terus menjadi sorotan publik.
Hingga kini, Polres Majene melalui Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) belum juga menahan pelaku, meskipun berbagai bukti telah dikumpulkan dan proses penyidikan telah berjalan.
Perkara ini bermula dari laporan Muhammad Irfan Syarif, korban dugaan penganiayaan, pada 2 Desember 2024.
Insiden itu terjadi di halaman kantor Perumda Aneka Usaha Kabupaten Majene, yang berlokasi di Lingkungan Lutang, Kelurahan Tande Timur, Kecamatan Banggae Timur.
Saat itu, korban melaporkan kejadian penganiayaan dengan harapan mendapatkan keadilan.
Satreskrim Polres Majene bergerak cepat dengan melakukan penyelidikan. Berbagai barang bukti telah disita, di antaranya rekaman CCTV, hasil visum korban, surat rujukan medis, serta pakaian korban yang bersimbah darah.
Bahkan, helm yang digunakan pelaku saat kejadian juga sudah diamankan oleh pihak kepolisian.
Beberapa saksi juga telah memberikan keterangan yang memperkuat dugaan adanya tindak pidana penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Namun, hingga kasus ini memasuki tahap penyidikan, pelaku yang merupakan pejabat publik itu masih bebas beraktivitas.
Hal ini memicu kekecewaan mendalam dari keluarga korban yang merasa bahwa hukum seakan-akan tidak berlaku bagi pelaku.
Kekecewaan keluarga korban semakin memuncak ketika Moch Luthfie Nugraha, pelaku penganiayaan, terlihat melakukan kunjungan kerja ke lokasi budidaya udang Vaname milik PT Kreatif Laut Indonesia di Kabupaten Barru pada Selasa 10 Desember 2024.
Aktivitas tersebut menunjukkan bahwa pelaku tidak mengalami hambatan apapun meskipun tengah menghadapi kasus pidana serius.
“Kami merasa ini seperti sebuah lelucon. Dengan bukti yang ada dan status kasus yang sudah naik ke tahap penyidikan, kenapa pelaku belum ditahan? Apakah karena posisinya sebagai direktur Perumda?” ujar salah satu anggota keluarga korban dengan nada kesal.
Keluarga korban bahkan menyatakan akan menempuh langkah mereka sendiri jika pelaku tidak segera mendapatkan tindakan tegas dari pihak kepolisian.
“Jika hukum tidak bertindak adil, maka masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap penegak hukum,” tegasnya.
Dalam perkembangan terakhir, Kasat Reskrim Polres Majene, AKP Budi Adi, telah mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor SP. Sidik/53/XII/RES.1.6/2024/Reskrim pada 10 Desember 2024.
Surat tersebut menegaskan bahwa kasus ini telah resmi naik ke tahap penyidikan.
Peningkatan ini didasarkan pada ketentuan Pasal 109 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 351 Ayat (1) KUHP, yang menyatakan bahwa bukti awal yang cukup telah dikumpulkan untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka dalam kasus penganiayaan.
Meski demikian, Polres Majene belum mengambil langkah penahanan terhadap pelaku. Padahal, dalam kasus penganiayaan serupa, penahanan seringkali dilakukan demi mencegah tersangka melarikan diri atau menghilangkan barang bukti.
Sementara itu, Keluarga korban berharap agar Polres Majene segera melimpahkan kasus ini ke Kejaksaan untuk mendapatkan kepastian hukum. Mereka juga mendesak agar hukum ditegakkan secara adil, tanpa pandang bulu terhadap status sosial atau jabatan seseorang.
“Jangan sampai kasus ini mencoreng kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian. Kami hanya meminta keadilan,” tutur korban Muhammad Irfan Syarif dalam pernyataannya.
Kasus ini menjadi ujian bagi penegak hukum di Kabupaten Majene. Masyarakat terus memantau perkembangan proses hukum terhadap Moch Luthfie Nugraha dan menanti langkah tegas dari aparat kepolisian.
Apakah hukum benar-benar akan ditegakkan secara adil, ataukah pelaku akan terus kebal hukum karena jabatannya?