MAJENE – Desakan publik agar Kejaksaan Tinggi Sulawesi Barat segera turun tangan memeriksa pelaksanaan tiga paket proyek pembangunan di RSUD Kabupaten Majene terus menguat. Pasalnya, tiga kontrak proyek yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) APBD Tahun Anggaran 2025 itu diduga kuat bermasalah sejak tahap pemilihan rekanan hingga proses pembangunan di lapangan.
Berdasarkan data yang dihimpun, proyek-proyek tersebut meliputi pembangunan Ruang PICU (Pediatric Intensive Care Unit), Ruang NICU (Neonatal Intensive Care Unit), dan Renovasi Ruang CT-Scan. Nilai total dari tiga kontrak ini mencapai lebih dari Rp4,7 miliar. Dua Proyek Dikuasai CV yang Sama
Dari hasil penelusuran, ditemukan bahwa dua dari tiga proyek, yakni Pembangunan Ruang PICU dan Pembangunan Ruang NICU, dikerjakan oleh CV yang sama, yakni CV. Tempuran Konstruksi yang beralamat di Jl. Yonggang No. 7, Kabupaten Majene.
Kontrak Nomor 870/1437/2025, tanggal 17 Juli 2025 Pekerjaan: Pembangunan Ruang PICU RSUD Majene Nilai kontrak: Rp2.719.897.937 Pelaksana: CV. Tempuran Konstruksi Waktu pelaksanaan: 17 Juli–24 Desember 2025
Kontrak Nomor 870/1436/2025, tanggal 17 Juli 2025 Pekerjaan: Pembangunan Ruang NICU RSUD Majene Nilai kontrak: Rp1.440.421.175 Pelaksana: CV. Tempuran Konstruksi Waktu pelaksanaan: 17 Juli–24 Desember 2025.
Sementara proyek ketiga, yakni Renovasi Ruang CT-Scan, dikerjakan oleh CV. Ibnati. Kontrak Nomor 870/1513/2025, tanggal 24 Juli 2025 Pekerjaan: Renovasi Ruang CT-Scan RSUD Majene Nilai kontrak: Rp593.914.108 Pelaksana: CV. Ibnati, Lingkungan Galung-Galung, Kelurahan Lalampanua, Kecamatan Pamboang, Kabupaten Majene.
Sejumlah pihak menilai, proses pemilihan rekanan melalui sistem E-Katalog pada proyek tersebut tidak berjalan secara transparan dan kompetitif sebagaimana diamanatkan dalam regulasi pengadaan barang/jasa pemerintah.
Menurut informasi yang berkembang, pemilihan penyedia diduga telah diatur dan diarahkan kepada pihak tertentu. Bahkan, dua proyek besar dengan nilai miliaran rupiah disinyalir dikendalikan oleh satu orang yang sama.
Praktik semacam ini berpotensi melanggar prinsip persaingan sehat dan asas keadilan dalam pengadaan barang/jasa, sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Pasal 6 huruf a–e, yang menegaskan bahwa pelaksanaan pengadaan harus menjunjung tinggi efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel.
Pasal 13 Perpres 12/2021 juga menegaskan bahwa penyedia barang/jasa tidak boleh memiliki hubungan langsung atau tidak langsung dengan pihak yang terlibat dalam proses pengadaan, termasuk pejabat pembuat komitmen (PPK) maupun panitia pemilihan.
Dugaan nepotisme dalam proyek RSUD Majene ini juga berpotensi melanggar Pasal 5 huruf n Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021 yang secara tegas melarang adanya pengaturan atau kolusi di antara peserta dalam proses E-Katalog.
Selain dugaan penyimpangan dalam proses pemilihan rekanan, pelaksanaan proyek di lapangan juga menuai sorotan.
Laporan dari sejumlah pekerja menyebutkan adanya penggunaan material dengan harga di atas harga pasar (mark up), sementara kualitas bahan dan tenaga kerja yang dilibatkan tidak memenuhi standar teknis konstruksi bangunan kesehatan.
Bahkan, pekerjaan fisik di lapangan diduga asal-asalan dan tidak sesuai dengan spesifikasi teknis sebagaimana tertuang dalam kontrak kerja. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa bangunan hasil proyek tersebut tidak layak fungsi dan membahayakan keselamatan pasien serta tenaga medis di kemudian hari.
Menyikapi persoalan ini, sejumlah aktivis antikorupsi dan tokoh masyarakat Majene mendesak agar Kejaksaan Tinggi Sulbar segera melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan proyek tersebut.
“Kejaksaan perlu turun untuk memastikan apakah proses pengadaan melalui E-Katalog benar-benar berjalan sesuai prinsip transparansi dan kompetisi yang sehat. Kalau memang ditemukan indikasi pengaturan pemenang atau mark up, itu sudah termasuk perbuatan melawan hukum,” ujar Syamsuddin salah satu aktivis, Sabtu (11/10/2025).
Permintaan ini beralasan, sebab dugaan pelanggaran tersebut berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 2 dan 3 mengenai penyalahgunaan wewenang dan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara.
Proyek-proyek pembangunan di RSUD Majene yang menggunakan anggaran miliaran rupiah dari APBD DAK seharusnya menjadi contoh transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana publik. Namun, dugaan pengaturan rekanan dan pelaksanaan proyek yang tidak profesional justru mencoreng citra pemerintah daerah.
Publik kini menantikan tindakan nyata dari Kejaksaan Tinggi Sulbar untuk menelusuri dugaan penyimpangan pelaksanaan dalam proyek-proyek di RSUD Majene.
Langkah hukum tegas akan menjadi ujian nyata komitmen aparat penegak hukum dalam menjaga integritas, transparansi, dan keadilan dalam pengelolaan dana publik, sebagaimana amanat konstitusi dan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).