MAJENE – Pembangunan jembatan yang terletak di jalan Trans Sulawesi, Poros Majene, tepatnya di Tubo Poang, Kecamatan Tubo, Kabupaten Majene diprotes warga.
Protes tersebut muncul lantaran hingga tahun 2022 warga terdampak jembatan belum menerima ganti rugi dari Pemerintah Daerah (Pemda) Majene.
Pembangunan jembatan sudah berlangsung selama sembilan bulan terakhir, yakni sejak 7 April 2021. Padahal masa pekerjaan jembatan sesuai kontrak adalah maksimal 450 hari atau 15 bulan.
Salah satu warga terdampak Saleh mengatakan, rumah dan pekarangan miliknya masuk dalam rencana jalur jalan yang terhubung dengan jembatan, sehingga tanah dan bangunannya mesti mendapat ganti rugi.
<span;>“Saya ingin rumah dan pekarangan saya diberikan ganti rugi karena saya sudah memiliki bukti kepemilikan berupa sertifikat tanah sejak tahun 2007,” jelas Saleh kepada wartawan.
Saleh mengaku mendapat perlakuan tidak adil dari sejumlah pihak karena dituding rumah miliknya adalah bangunan liar karena tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Dia menegaskan rumahnya belum memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) karena dibangun sejak tahun 1998 dan pada saat itu belum ada aturan untuk menggunakan IMB.
Saleh mengungkapkan di bagian rumahnya terdapat sarang burung walet yang dibangun dengan mengambil dana dari bank.
“Saya memiliki utang 200 juta di bank untuk membangun sarang walet. Jadi bagaimana cara kami membayar utang jika rumah yang selama ini saya jadikan tempat usaha akan digusur,” ujar Saleh.
Sementara istri Saleh, Risnawati menangis sejadi-jadinya membayangkan jika rumahnya dirobohkan untuk pembangunan jembatan, khawatir jika ganti ruginya tidak sesuai.
“Saya tidak rela jika ganti rugi rumah saya tidak sesuai. Kami sudah puluhan tahun tinggal di sini, anak saya ada enam yang masih berkuliah dan bersekolah, siapa yang akan membiayai nanti karena penghasilan kami ada di sini,” tutur Risnawati.
Selain rumah dan lokasi Saleh, diperkirakan sekira 10 bidang tanah milik warga lainnya yang juga ikut terdampak.
Senada Sainuddin salah satu warga terdampak lainnya mengaku, kecewa karena belum adanya kejelasan apakah akan mendapat ganti rugi atau tidak.
“Tim penaksir hanya menghitun penggantian bangunan dan tanaman sekitar rumah. Sementara tanah kami justeri tidak ditaksir,” keluh Zainuddin.
Sementara Camat Tubo Sendana Mukhlis memberi penjelasan bahwa pihak pemerintah daerah dan masyarakat terdampak sudah pernah dipanggil oleh Kejaksaan Tinggi untuk mencarikan solusi masalah tersebut.
“Kami tahu mereka pasti kecewa, namun kita harus mengembalikan ke masyarakat karena ini atas tidak sepengetahuan masyarakat atas aturan yang berlaku,” sebutnya.
Mukhlis menyebut<span;> sudah memfasilitasi warga dengan melakukan pertemuan ditingkat provinsi dengan melibatkan Kejati Sulbar.
Dalam pertemuan itu dijelaskan bahwa 0 hingga 100 meter dari sungan adalah lahan milik pemerintah.
Lambatnya proses pembebasan lahan, bangunan, dan tanaman itu disebabkan banyak yang dilibatkan.
“Lambatnya urusan pembebasan lahan, tanaman, dan bangunan ini disebabkan banyak pihak yang terkait, seperti BPN dan lain sebagainya,” tutup Mukhlis.
Sejumlah pihak menyayangkan kehadiran aparat penegak hukum, khususnya Kejaksaan Tinggi Sulbar dalam proses mediasi dengan warga.
“Ada kecenderungan pemerintah daerah untuk menakut-nakuti warga. Kami harap kejadian ini tidak terulang lagi. Pembangunan itu tidak boleh merugikan masyarakat,” jelas warga yang enggan disebutkan namanya.