Makassar – Aroma skandal anggaran kembali menyeruak di lingkup Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya belanja “siluman” senilai Rp1.113.720.000,00 di Biro Umum Sekretariat Daerah (Setda) Sulsel pada tahun 2024. Ironisnya, pengeluaran itu tetap dilakukan meski anggaran sudah habis.
Ketua Jaringan Pemerhati Kebijakan Pemerintah Daerah (JAPKEPDA), Juniardi, menyebut praktik tersebut sebagai bentuk nyata pembangkangan terhadap aturan pengelolaan keuangan daerah.
“Ini bukan lagi sekadar kelalaian administratif, tapi indikasi kuat adanya penyalahgunaan anggaran. Belanja dipaksakan jalan tanpa dasar APBD. Itu namanya skandal,” tegas Juniardi, Selasa 16 September 2025.
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atas Laporan Keuangan Pemprov Sulsel Tahun 2024, diketahui bahwa untuk mendukung kegiatan fasilitasi kunjungan tamu dan penyediaan kebutuhan rumah tangga kepala daerah, Pemprov Sulsel mengalokasikan anggaran sebesar Rp757,37 juta di APBD murni. Anggaran ini kemudian naik drastis menjadi Rp1,65 miliar dalam APBD Perubahan.
Namun, setelah realisasi belanja Januari–Mei 2024 mencapai Rp1,17 miliar dan ditambah pembayaran utang 2023 senilai Rp479,5 juta, plafon anggaran praktis habis.
Anehnya, Pemprov Sulsel tetap melanjutkan belanja pada periode Juni–Desember 2024 senilai Rp1,1 miliar dengan rincian Rp240,09 juta untuk fasilitasi kunjungan tamu, dan Rp873,63 juta untuk kebutuhan rumah tangga kepala daerah.
BPK menilai langkah tersebut melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, khususnya Pasal 14 ayat (2): PPK SKPD wajib melakukan verifikasi kelengkapan dokumen pengajuan belanja.
Pasal 22 ayat (3) yang menyebut TAPD wajib membahas dan memverifikasi APBD maupun perubahannya.
Pasal 124 ayat (1–3) menyatakan pejabat daerah dilarang melakukan belanja bila anggaran tidak tersedia, dan dilarang menggunakan APBD di luar tujuan yang ditetapkan.
“Pasal 124 sudah sangat jelas, dilarang mengeluarkan anggaran bila tidak tersedia. Artinya, apa yang dilakukan Pemprov Sulsel adalah pelanggaran terang-benderang,” kata Juniardi.
Dalam LHP tersebut, BPK merekomendasikan agar Gubernur Sulsel menginstruksikan Kepala Biro Umum untuk tidak lagi melaksanakan belanja tanpa dasar anggaran, serta memerintahkan SKPD terkait memperketat pengawasan.
Namun, JAPKEPDA menilai, temuan ini berpotensi masuk ranah hukum. Aparat penegak hukum punya dasar kuat untuk membongkar kasus ini, apalagi Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, berbunyi “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.”
Kasus ini disebut-sebut bisa menjadi skandal besar di Pemprov Sulsel, mengingat praktik belanja di luar APBD rentan membuka ruang bagi dugaan penyalahgunaan kewenangan dan korupsi.
JAPKEPDA pun mendesak DPRD Sulsel untuk menggunakan hak pengawasan secara maksimal. “Ini bukan hanya soal administrasi, tapi soal integritas pengelolaan uang rakyat. Kalau belanja bisa dilakukan meski anggaran habis, lalu untuk apa ada APBD? DPRD dan aparat hukum harus bertindak,” tutup Juniardi.