PAUS TERDAMPAR DI MAJENE: PESAN SUNYI DARI LAUT YANG BERUBAH

  • Bagikan
Prof. Dr. Ir. Rahmadi Tambaru, M.Si Guru Besar Fak Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas/Pemerhati Lingkungan

Oleh Prof. Dr. Ir. Rahmadi Tambaru, M.Si

Guru Besar Fak Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas/Pemerhati Lingkungan

Paus adalah penghuni samudra yang agung—makhluk cerdas yang memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut. Kehadirannya di perairan Majene, Sulawesi Barat, menjadi bukti bahwa laut kawasan ini masih menyimpan kekayaan hayati yang luar biasa. Namun beberapa tahun terakhir, laut Majene membawa kabar yang tak selalu indah. Warga pesisir kerap dikejutkan oleh peristiwa memilukan, paus yang terdampar di pantai dalam kondisi lemah, terluka, bahkan mati. Pertanyaannya, apa yang sebenarnya sedang terjadi di perairan kita?

Majene memiliki garis pantai panjang dengan beragam habitat laut, dari perairan dangkal hingga zona dalam yang menjadi jalur lintasan satwa besar seperti paus. Dari sejumlah catatan lapangan, dua jenis paus yang kerap terlihat di kawasan ini adalah paus sperma (Physeter macrocephalus) dan paus bungkuk (Megaptera novaeangliae). Keduanya dikenal sebagai pengembara samudra sejati. Paus sperma mampu menyelam hingga ribuan meter untuk berburu cumi-cumi, sementara paus bungkuk terkenal dengan nyanyiannya yang indah dan lompatan megah di permukaan air.

Namun meningkatnya kasus paus terdampar di Majene menunjukkan ada yang tidak beres di laut kita. Banyak paus ditemukan dalam kondisi tidak sehat, mengalami luka fisik, atau tersesat di perairan dangkal. Para ahli menduga paus-paus ini menjadi korban dari tekanan lingkungan yang kian berat, laut yang tercemar, kebisingan kapal dan alat eksplorasi, hingga jaring nelayan yang tanpa sengaja menjerat mereka.

Tak bisa dipungkiri, perubahan iklim turut menentukan nasib mamalia laut sebesar paus. Peningkatan suhu air laut dapat menggeser sebaran plankton dan ikan kecil yang menjadi mata rantai makanan utama. Ketika sumber makanan bergeser, paus pun terpaksa mengubah jalur migrasinya. Kadang mereka tersesat ke perairan yang lebih dangkal dan berisiko tinggi, termasuk di sekitar Majene.

Kondisi gelombang tinggi di perairan Sulawesi Barat turut memperburuk situasi. Angin dari barat dan barat laut kerap menimbulkan ombak besar yang mengganggu orientasi paus di laut lepas. Saat tubuh raksasa itu kehilangan arah dan terbentur karang, cedera serius tak terhindarkan, dan akhirnya mereka terdampar di pantai, kehabisan tenaga.

Sebagai seseorang yang tumbuh di pesisir, saya tahu betul bagaimana laut berubah dalam diam. Dulu, laut memberi kehidupan tanpa banyak keluhan. Kini, ia mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan.

Dampak ekologis dari matinya paus sangat besar. Sebagai predator puncak, paus menjaga keseimbangan rantai makanan dan siklus nutrisi laut. Bahkan kotorannya pun berperan penting—menyuburkan laut dengan unsur hara yang menumbuhkan plankton, dasar dari seluruh kehidupan di samudra. Hilangnya paus berarti ada bagian penting dari sistem laut yang ikut terganggu.

Bagi masyarakat pesisir, paus juga punya nilai ekonomi dan budaya. Di banyak negara, wisata pengamatan paus (whale watching) menjadi daya tarik ekowisata yang menumbuhkan ekonomi lokal tanpa merusak alam. Dengan potensi serupa, Majene sebenarnya bisa mengembangkan pariwisata bahari berbasis konservasi, asal lautnya dijaga dengan sungguh-sungguh.

Peristiwa paus terdampar seharusnya menjadi panggilan bagi kita semua—tanda bahwa laut sedang meminta perhatian. Pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat perlu bergandeng tangan: meningkatkan kesadaran publik, memperketat pengawasan terhadap limbah dan aktivitas kapal, serta menegakkan aturan perlindungan lingkungan laut.

Secara ilmiah, penelitian lanjutan tentang pola migrasi, kesehatan, dan populasi paus di perairan Majene sangat dibutuhkan sebagai dasar kebijakan konservasi yang tepat. Kolaborasi antara pengetahuan lokal nelayan dengan teknologi modern, seperti penginderaan jauh dan pemantauan suara bawah laut, akan membantu mengenali jalur migrasi paus dan titik rawan terdampar. Pendirian pusat penyelamatan paus juga layak dipertimbangkan sebagai langkah tanggap darurat ketika insiden serupa terjadi lagi.

Jika semua elemen bersinergi, Majene bisa menjadi contoh sukses konservasi paus di Indonesia. Upaya ini bukan sekadar menjaga satu spesies, melainkan melindungi laut sebagai sumber kehidupan dan kebanggaan bersama.

Pada akhirnya, paus yang terdampar di pantai Majene bukan hanya kisah sedih tentang makhluk laut yang tersesat. Ia membawa pesan sunyi dari laut: bahwa ekosistem kita sedang lelah dan membutuhkan uluran tangan manusia. Menjaga paus berarti menjaga keseimbangan laut, sumber pangan, dan masa depan masyarakat pesisir. Dengan kesadaran kolektif, semoga generasi mendatang masih dapat menyaksikan paus berenang bebas di perairan Majene,sebagai simbol harmoni antara manusia dan alam yang terus dijaga.

Penulis: Prof. Dr. Ir. Rahmadi Tambaru, M.Si
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *