MAMUJU – Sorotan publik terus mengarah kepada Kepolisian Daerah Sulawesi Barat (Polda Sulbar) menyusul belum ditahannya tersangka berinisial HZ, dalam kasus dugaan peredaran oli palsu yang telah mencuat sejak Mei 2025. Padahal, status tersangka sudah diumumkan secara resmi oleh penyidik Ditreskrimsus beberapa minggu lalu.
Penanganan kasus ini dianggap lamban dan tidak transparan. Publik menilai terdapat perlakuan istimewa terhadap HZ, lantaran hingga kini belum dilakukan penahanan. Hal ini memunculkan dugaan adanya standar ganda dalam penegakan hukum, di mana masyarakat kecil sering kali langsung ditahan meskipun kasusnya lebih ringan, sementara pelaku yang memiliki kekuatan ekonomi justru mendapat kelonggaran.
“Kalau rakyat biasa yang jadi tersangka, pasti sudah ditahan dari dulu. Tapi kalau pelaku bisnis besar, alasan kooperatif dijadikan tameng,” kata seorang aktivis hukum, Hasan Rahman, Selasa (4/11/2025).
Ia menilai penyidik Polda Sulbar harus menjelaskan secara terbuka dasar hukum tidak ditahannya HZ agar tidak muncul kecurigaan publik terhadap profesionalitas aparat.
Kasus ini bermula dari penggerebekan tim Ditreskrimsus Polda Sulbar yang dipimpin AKBP Prof. Dr. Saprodin di sebuah gudang di Kecamatan Wonomulyo, Kabupaten Polewali Mandar (Polman), pada Minggu, 25 Mei 2025. Dari lokasi tersebut, polisi menyita 1.243 dus oli berbagai merek yang diduga palsu atau tidak memenuhi standar mutu nasional.
Gudang tersebut juga diketahui berfungsi sebagai distributor pupuk dan tempat pengemasan ulang oli ke dalam botol baru dengan merek-merek terkenal. Barang bukti kemudian diamankan ke Mapolda Sulbar untuk pemeriksaan laboratorium dan uji standar mutu.
Namun, pernyataan bahwa tersangka HZ tidak ditahan karena dianggap “kooperatif” justru memperkeruh kepercayaan masyarakat. Banyak pihak menilai alasan itu tidak cukup kuat secara hukum. Menurut Pasal 21 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penahanan dapat dilakukan terhadap tersangka apabila terdapat bukti yang cukup dan dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi perbuatan.
Dalam konteks kasus oli palsu, para pengamat menilai unsur kekhawatiran tersebut seharusnya sudah terpenuhi. Sebab, HZ memiliki akses distribusi dan jaringan bisnis yang luas, sehingga berpotensi menghilangkan bukti atau mempengaruhi saksi-saksi di lapangan.
Selain itu, tindakan memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai standar merupakan pelanggaran serius sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang melarang pelaku usaha memperdagangkan barang yang tidak memenuhi standar mutu atau tidak sesuai label. Pelanggar pasal ini dapat dijerat Pasal 62 ayat (1) dengan ancaman pidana penjara maksimal 5 tahun atau denda hingga Rp2 miliar.
Regulasi lain juga tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan, yang mewajibkan setiap produk industri memiliki Sertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI) dan izin edar resmi. Jika oli palsu tersebut dipasarkan tanpa memenuhi ketentuan itu, maka perbuatan HZ dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perdagangan ilegal.
Publik kini menuntut Polda Sulbar agar segera menahan HZ demi memastikan kesetaraan di hadapan hukum. Beberapa organisasi masyarakat bahkan berencana melayangkan surat terbuka ke Kapolri untuk meminta pengawasan internal terhadap proses penyidikan kasus ini. “Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas,” ujar Baharuddin, seorang aktivis lainnya.
Pengamat hukum lainnya menilai, penyidik seharusnya menggunakan kewenangannya secara proporsional sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang menekankan keadilan substantif dan keseimbangan kepentingan hukum masyarakat. Namun, dalam kasus yang menyangkut kepentingan publik seperti pemalsuan oli, penyidik sebaiknya menegakkan hukum secara represif untuk memberikan efek jera.
Kini, bola panas ada di tangan Polda Sulbar. Keputusan untuk menahan atau tidak menahan HZ akan menjadi tolok ukur komitmen kepolisian dalam menegakkan hukum secara adil dan transparan. Jika penyidik tetap membiarkan tersangka bebas tanpa alasan hukum yang kuat, kepercayaan publik terhadap institusi Polri di Sulawesi Barat bisa tergerus.
Masyarakat Sulbar menunggu langkah tegas berikutnya dari aparat penegak hukum. Karena, seperti diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, semua warga negara bersamaan kedudukannya di hadapan hukum. Maka, jika hukum hanya berlaku keras untuk rakyat kecil, tetapi lunak untuk pelaku yang memiliki modal dan pengaruh, maka prinsip keadilan sejati hanya akan menjadi slogan tanpa makna.















