MAJENE – Sejumlah Kader Institusi Masyarakat Pedesaan (IMP) dari 62 desa dan 20 kelurahan di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, menyuarakan kekecewaan mereka terhadap dugaan penyalahgunaan dana operasional oleh pihak Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB) Kabupaten Majene.
Alasannya, hingga berakhirnya semester pertama tahun 2025 ini, para kader hanya menerima dana sebesar Rp700 ribu per desa/kelurahan, jauh dari jumlah yang seharusnya mereka terima, yakni Rp4 juta per desa/kelurahan.
Padahal, sesuai dengan aturan dan ketersediaan anggaran yang telah dicairkan, dana operasional IMP untuk tahun 2025 mencapai Rp656 juta. Anggaran ini ditujukan bagi seluruh kader di 82 wilayah administratif desa dan kelurahan, dengan sistem pencairan dua tahap, masing-masing sebesar Rp328 juta per semester. Jika dihitung secara proporsional, tiap desa atau kelurahan seharusnya menerima Rp4 juta per semester, atau total Rp8 juta per tahun.
Namun kenyataannya, dari total pencairan Rp328 juta yang dilakukan pada Mei 2025 lalu, hanya Rp700 ribu yang disalurkan per desa/kelurahan, dengan total distribusi hanya mencapai Rp57 juta. Artinya, terdapat kekurangan dana yang cukup besar, yakni sekitar Rp270 juta, atau Rp3,3 juta per desa/kelurahan.
Para kader IMP mengaku sempat diberi harapan oleh pihak DPPKB, yang menjanjikan bahwa kekurangan dana tersebut akan dibayarkan pada akhir Juli 2025. Namun hingga memasuki awal Agustus, janji itu belum juga ditepati. Kekecewaan pun meluas, terlebih karena dana operasional tersebut digunakan untuk kegiatan vital yang menyangkut edukasi dan pelayanan langsung kepada masyarakat.
“Awalnya kami percaya saat dijanjikan sisa dana itu akan dibayarkan akhir Juli. Tapi sekarang sudah Agustus, tidak ada kabar, tidak ada kejelasan,” ungkap salah satu kader IMP yang enggan disebutkan namanya.
Peran kader IMP tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka adalah garda terdepan dalam menjalankan program-program pemerintah di bidang Keluarga Berencana (KB) dan pembangunan keluarga. Kader IMP bertugas mengorganisir masyarakat, mengadakan pertemuan rutin, memberikan informasi dan edukasi (KIE), konseling kepada pasangan usia subur, pencatatan akseptor KB, hingga pelayanan kontrasepsi dasar.
“Bayangkan kami harus keliling dari dusun ke dusun, mengedukasi warga, mencatat data keluarga, memberi konseling, semua itu dengan dana Rp700 ribu selama enam bulan. Itu pun untuk seluruh kebutuhan operasional, dari pertemuan hingga transportasi,” ujar kader lainnya.
Dengan makin derasnya keluhan dari bawah, sejumlah tokoh masyarakat dan pemerhati pembangunan desa mulai mendesak adanya audit transparan terhadap penggunaan anggaran DPPKB. Mereka meminta agar dana publik yang semestinya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga di tingkat akar rumput tidak disalahgunakan.
“Kalau memang ada anggaran Rp328 juta, dan hanya Rp57 juta yang disalurkan, pertanyaannya ke mana sisa Rp270 juta itu? Ini menyangkut uang rakyat, menyangkut kepercayaan,” ujar Syamsuddin, seorang tokoh masyarakat Majene yang aktif dalam isu pembangunan desa.
Para kader IMP berharap pemerintah kabupaten, segera turun tangan mengusut tuntas dugaan penyalahgunaan anggaran ini. Mereka juga meminta agar pencairan dana semester dua yang direncanakan pada Oktober tahun ini tidak mengalami nasib serupa.
Hingga berita ini ditulis, pihak DPPKB Majene belum memberikan klarifikasi resmi terkait keterlambatan dan kekurangan dana yang diterima kader IMP. Redaksi masih berupaya menghubungi pihak terkait untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut.