Oleh: Muhammad Irfan – Sosiolog, Dosen STAI DDI Majene
Pendidikan karakter di Indonesia tengah menghadapi krisis yang tak bisa dianggap remeh. Di banyak sekolah, nilai-nilai moral seperti kejujuran, tanggung jawab, dan gotong royong masih diajarkan dalam bentuk hafalan dan ceramah. Akibatnya, nilai-nilai tersebut menjadi normatif dan teoritis tidak membekas, tidak meresap dalam tindakan nyata.
Situasi ini makin kompleks di wilayah-wilayah yang kaya tradisi, seperti pesisir Mandar di Sulawesi Barat. Generasi mudanya kini berada dalam persimpangan jalan: mempertahankan identitas budaya bahari mereka atau terbawa arus budaya global yang menjanjikan kemajuan, namun perlahan mencabut akar tradisi.
Namun, justru di tengah derasnya perubahan, masyarakat Mandar masih memegang erat warisan budayanya. Salah satu simbol kuat dari kearifan itu adalah sandeq, perahu tradisional tercepat di Asia Tenggara. Sandeq bukan sekadar kendaraan laut ia adalah lambang peradaban, teknologi tradisional, dan nilai-nilai kehidupan yang menyatu.
Pengakuan terhadap nilai ini semakin diperkuat ketika sandeq ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Ini bukan sekadar pengesahan administratif, tetapi pengakuan terhadap nilai-nilai luhur yang dikandungnya.
Sandeq: Warisan yang Mengajarkan Hidup
Perahu sandeq adalah contoh nyata betapa tradisi lokal bisa menjadi sumber pendidikan karakter yang kontekstual. Proses pembuatannya tidak bisa sembarangan. Pemilihan kayu harus mengikuti waktu tertentu berdasarkan kalender kutika pengetahuan astronomi lokal yang menandai keselarasan manusia dengan alam semesta.
Ritual adat mengiringi setiap tahapan pembangunan perahu: dari menebang pohon, merakit lambung, hingga peluncuran pertama ke laut. Semua itu menanamkan nilai kesabaran, penghormatan kepada alam, dan spiritualitas yang menyatu dalam keseharian masyarakat.
Salah satu ungkapan Mandar yang terkenal adalah: “Takkalai disombalang, dotai lele ruppuq, dadzi nalele, tuali dilolangang” Artinya: jika layar telah terkembang, pantang perahu kembali ke pantai. Ungkapan ini bukan hanya filosofi pelaut, tapi juga prinsip hidup tentang keberanian, komitmen, dan konsistensi dalam menghadapi tantangan apa pun Nilai gotong royong sangat nyata dalam budaya sandeq. Dari pengrajin kayu, penenun layar, hingga pelaut, semuanya saling bergantung dalam menciptakan satu karya utuh. Tidak ada yang bekerja sendiri.
Inilah pendidikan sosial yang konkret, di mana kerja sama dan tanggung jawab kolektif bukan sekadar wacana, tetapi kebutuhan yang riil Student On Sandeq: Belajar Karakter di Atas Ombak Kesadaran akan kekayaan nilai ini mendorong lahirnya program Student On Sandeq (SOS) yang digagas oleh Komonitas yang dikuraori langsung oleh Ridwan Alimuddin sebagai peneliti maritim sebuah inovasi pendidikan karakter berbasis pengalaman langsung. Program ini membawa siswa keluar dari ruang kelas, naik ke atas perahu, dan belajar langsung dari alam, budaya, serta para pelakunya.
Di atas sandeq, siswa belajar memegang layar, membaca arah angin, dan bekerja sama menjaga keseimbangan perahu. Mereka menghadapi langsung kerasnya laut, merasakan tantangan yang tak bisa disimulasikan di ruang kelas. Dalam situasi ini, nilai kepemimpinan, solidaritas, dan keberanian tumbuh secara alami.
Yang menarik, para siswa juga berinteraksi langsung dengan para pasandeq (pelaut tradisional), pengrajin perahu, dan penenun layar. Mereka menyaksikan bahwa budaya lokal bukan hanya warisan masa lalu yang layak dikenang, tetapi juga sumber penghidupan yang nyata, bermartabat, dan bisa berkelanjutan.
Bukan hanya itu, SOS juga membuka mata siswa bahwa pengetahuan tradisional adalah bagian dari ilmu yang sah bukan sesuatu yang terpinggirkan atau kuno. Dengan cara ini, generasi muda mulai menumbuhkan kebanggaan terhadap identitas budayanya sendiri.
Membangun Pendidikan dari Akar Budaya
SOS membuktikan bahwa pendidikan karakter paling efektif bukanlah yang seragam atau serba teoritis. Justru ketika pendidikan dikembalikan ke konteks budaya lokal, ia menjadi lebih membumi, lebih menyentuh kehidupan nyata, dan lebih kuat daya serapnya.
Kita terlalu lama memaksakan satu model pendidikan karakter untuk semua wilayah, tanpa mempertimbangkan kekayaan lokal masing-masing daerah. Padahal, hampir setiap suku dan komunitas di Indonesia memiliki sistem nilai dan praktik tradisional yang bisa dijadikan sebagai sumber pendidikan karakter yang otentik.
Laut Mandar, melalui sandeq, telah menjadi ruang belajar terbuka sebuah sekolah kehidupan yang mengajarkan nilai-nilai dasar seperti tanggung jawab, kerja sama, ketangguhan, dan penghormatan terhadap alam. Jika sandeq mampu melaju di tengah gelombang dengan layar tradisionalnya, maka pendidikan karakter berbasis budaya lokal pun bisa menjadi kapal besar yang membawa kita menuju masa depan yang lebih berkarakter.
Menatap Masa Depan, Berpijak pada Akar
Sudah saatnya kita melihat kembali ke akar untuk menyiapkan lompatan ke depan. Budaya lokal tidak boleh hanya dijadikan objek wisata atau pelengkap seremoni. Ia harus ditempatkan sebagai sumber pengetahuan dan nilai yang hidup.
Program seperti Student On Sandeq layak tidak hanya diapresiasi, tetapi juga diduplikasi. Tentu saja dengan penyesuaian terhadap budaya dan kondisi tiap daerah. Dari pegunungan hingga pesisir, dari timur sampai barat Indonesia, kekayaan lokal kita sangat cukup untuk membangun sistem pendidikan karakter yang kokoh dan relevan.
Dengan begitu, kita tidak hanya menjaga warisan leluhur, tetapi juga memanfaatkannya sebagai bahan bakar untuk membentuk generasi masa depan generasi yang tangguh, cerdas, dan berakar kuat pada identitas budayanya.