Warga Desak Izin Tambang PT. Cadas Industri Azelia Mekar Dicabut, Khawatir Dampak Lingkungan di Banua Adolang Kian Parah

  • Bagikan

MAJENE – Penolakan terhadap aktivitas pertambangan kembali menggema di Kabupaten Majene. Kali ini, warga Desa Banua Adolang, Kecamatan Pamboang, mendesak pemerintah untuk mengevaluasi sekaligus mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT. Cadas Industri Azelia Mekar. 

Perusahaan ini dinilai telah menimbulkan kekhawatiran serius akibat potensi kerusakan lingkungan di wilayah tersebut.

Desakan tersebut muncul setelah aktivitas tambang batu gunung (quarry) yang dikelola perusahaan tersebut mulai memasuki tahap operasi produksi. Berdasarkan data dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sulawesi Barat, PT. Cadas Industri Azelia Mekar mengantongi IUP dengan Nomor SK 05062300448660002 untuk komoditas batuan, dengan luas konsesi mencapai 31,63 hektar. Izin tersebut berlaku hingga 29 Juli 2029.

Warga menyebut aktivitas pertambangan itu berpotensi menyebabkan gangguan terhadap ekosistem setempat. Tidak hanya itu, dampak sosial juga mulai dirasakan, seperti terganggunya ketenangan warga, potensi rusaknya jalan desa dan jalan Kelurahan Lalampanua akibat lalu lintas truk dan alat berat.

Sejumlah aktivis lingkungan dan akademisi juga angkat bicara. Mereka menilai operasi tambang ini perlu dikaji ulang karena berisiko menabrak beberapa regulasi penting di bidang lingkungan dan pertambangan.

Pertama, merujuk pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 22 menegaskan bahwa setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). 

Warga mempertanyakan transparansi dokumen AMDAL milik PT. Cadas Industri Azelia Mekar serta apakah telah dilakukan konsultasi publik yang memadai sebelum aktivitas produksi dimulai.

Kedua, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dalam Pasal 162, menyebutkan bahwa kegiatan usaha pertambangan wajib memperhatikan keberlanjutan lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat sekitar. 

Jika ditemukan pelanggaran, pemerintah pusat atau pemerintah daerah dapat menjatuhkan sanksi administratif, termasuk pencabutan izin usaha.

Ketiga, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dijelaskan bahwa perusahaan tambang wajib memiliki dokumen lingkungan yang disusun berdasarkan kajian risiko, serta menerapkan prinsip partisipasi masyarakat.

Salah Satu Tokoh Pemuda Udin Pamboang, mengatakan bahwa warga tidak pernah dilibatkan secara serius dalam proses sosialisasi maupun pengambilan keputusan. “Kami baru sadar ada tambang ketika alat berat mulai keluar-masuk desa,” katanya.

Ia berharap Pemerintah Kabupaten Majene dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat segera menindaklanjuti keluhan warga dengan melakukan investigasi lapangan serta mengevaluasi legalitas dan dampak operasional perusahaan tersebut.

Desakan warga Desa Banua Adolang menjadi gambaran ketegangan klasik antara investasi dan keberlanjutan lingkungan. Di satu sisi, sektor pertambangan menjadi bagian dari pembangunan ekonomi nasional. Namun di sisi lain, apabila tidak dilakukan secara bertanggung jawab, tambang justru menjadi bom waktu yang mengancam keselamatan ekosistem dan kehidupan sosial masyarakat lokal.

Langkah warga Banua Adolang menuntut pencabutan izin tambang adalah bentuk perlawanan terhadap eksploitasi yang tidak transparan dan tidak adil. 

Dalam konteks ini, pemerintah perlu bersikap tegas dengan meninjau ulang seluruh izin usaha tambang yang bermasalah dan memprioritaskan keselamatan lingkungan serta hak-hak masyarakat adat dan lokal.

Penulis: ArdiEditor: Tim Redaksi
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *